Beranda | Artikel
Untung Segunung ! Kenapa Tidak ?
Minggu, 17 Oktober 2021

UNTUNG SEGUNUNG ! KENAPA TIDAK?

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA

Pendahuluan.
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkann kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Saudaraku, Anda seorang pedagang ? Pasti Anda menginginkan keuntungan besar. Bahkan, jika bisa, dengan modal sedikit atau hanya berbekal pakaian yang melekat di badan, Anda berharap bisa mengeruk untung segunung ? Istana megah, kendaraan mewah dan uang melimpah, impian yang ingin segera diwujudkan. Tapi, saudaraku, pernahkah Anda bertanya, “Halalkah keuntungan yang berlipat ganda itu?”

Dua Prinsip Dasar Perniagaan.
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip dasar perniagan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.

Prinsip Pertama : Asas Suka Sama Suka.
Islam yang anda cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya -walau sekedar bercanda -,.

لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًا  ولاَ جَادًّا وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ

Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. [HR Ahmad, 4/221]

Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [an Nisâ’/4:29]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan  dasar kerelaan jiwanya. [HR Ahmad, dan dishahihkah oleh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb no:839]

Dan pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih tegas lagi bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. [HR. Ibnu Mâjah dan dinyatakan shahih oleh al-Albâni].[1]

Dalam riwayat lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ

Janganlah dua orang yang berjual-beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka-sama suka. [HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albâni rahimahullah][2].

Betapa kacau kehidupan manusia bila mereka bebas membeli harta sesama, tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis, permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.

Berdasarkan ini, para Ulama’ menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.

Prinsip Kedua : Tidak Merugikan Orang Lain.
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allâh berfirman, اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” [Al- Hujurât/49:10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya juga menegaskan hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan bahu-membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam. [HR. Muslim, no. 2586]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah-lembut dan membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau hal-hal yang dibenci.”[3]

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ

Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allâh yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya.[HR. Bukhâri, no. 5717 dan Muslim, no. 2558]

Dengan dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama’ ahli fiqih mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum, baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.

Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha?
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut :

Dalil pertama:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ

Dari Urwah al Bariqi Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. [HR. Bukhâri, no. 3443]

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100 %. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan bukan hanya merestui, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah Radhiyallahu anhu senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Radhiyallahu anhu semakin lihai berniaga.

Dalil kedua:
Berbagai dalil-dalil yang telah saya kemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang dagangannya, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.

Dalil ketiga :
Sahabat Rasûlullâh, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasûlullâh, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual !” Menanggapi permintaan ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ

Sesungguhnya Allâh-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allâh dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.[4]

Saudaraku! Coba anda cemati alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak untuk menentukan  harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.

Catatan Penting.
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga di atas. Karenanya, para Ulama’ ahli Fikih menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan.  Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip di atas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah  yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip di atas:

1. Monopoli
Sebagian pedagang menimbum barang demi menuruti ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka di pasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya, guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa  [HR. Muslim, no. 1605]

Penimbunan barang bertentangan dengan kedua prinsip yang telah dipaparkan di atas, sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga meresahkan mereka.

2. Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa  modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras dengan syariat Islam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُولُ اللَّهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allâh pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi ada yang mau beli dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia  dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada di sumurnya), dan kelak Allâh l akan berfirman: Pada hari ini aku akan menghalangimu dari keutamaan/ kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.” [HR. Bukhâri, no. 2240, Muslim, no. 108]

Diantara trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ

Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. [Al-Muthaffifîn/83:1-3]

3. Pemalsuan Barang.
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersbeut, lalu jari-jemari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang basah, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa ini ? Wahai pemilik bahan  makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai Rasûlullâh!’  Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” [HR Muslim, no. 102]

Saya percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan materi.

Penutup.
Saudaraku! Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Cita-cita ini mesti diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan sia-sia. Semua akhlaq mulia, pasti mendapatkan balasan setimpal dari Allâh Azza wa Jalla . Semoga kisah berikut cukup memotifasi anda untuk bersikap mulia, dan tidak hanyut dalam ambisi mengeruk keuntungan dunia.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُتِيَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي

Sahabat Huzaifah  Radhiyallahu anhu menuturkan,  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, “(pada hari qiamat kelak) Allâh mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allâh  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allâh suatu kejadian)[5] Iapun menjawab, Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan. Aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian Allâh berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.” [HR Bukhari, no. 1971 dan Muslim, no. 1560]

Mudahkanlah saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah, kekayaan dan kabahagian hidup yang anda dambakan dengan keuntungan melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, dan bila ada khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan saya.

Wallahu a’alam bisshawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Sunan Ibnu Mâjah, no. 2185 dan Irwâul Ghalîl, no. 1283
[2] Musnad Imam Ahmad 2/536 dan Irwâul Ghalîl, no. 1283
[3] Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi 16/139.
[4] HR Abu Dâwud, no.3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albâni rahimahullah  dalam kitab Misykâtul Mashâbîh, no. 2894
[5] QS an-Nisâ/4:42.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/41819-untung-segunung-kenapa-tidak-2.html